HARGA bahan bakar minyak (BBM) mengalami kenaikan seiring dengan disahkannya APBN-P 2013 DPR RI pada Senin (17/6) pekan lalu. Harga premium yang sebelumnya Rp 4.500 naik menjadi Rp 6.500 per liter, demikian pula solar yang sebelunya Rp 4.500 kini menjadi Rp 5.500 per liter. Meski demikian, masyarakat tidak perlu galau, karena pemerintah telah menyiapkan solusi atas permasalahan tersebut, dengan memberikan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM), guna meringankan beban masyarakat.
Menurut Menko Perekonomian Hatta Rajasa,
pemberian BLSM tersebut akurat dan tidak akan salah sasaran. Total alokasi
anggaran untuk BLSM ini mencapai Rp 14 triliun, dengan jumlah bantuan yang akan
diterima Rp 150 ribu per bulan untuk 15,5 juta kepala keluarga atau kelompok
sasaran selama 5 bulan (detik.com)
Mudah-mudahan rencana pemerintah menaikkan harga
BBM bersubsidi sampai bantuan dan memberikan bantuan lansung sementara kepada
masyarakat merupakan sebuah keputusan yang tulus yakni murni untuk kepentingan
masyarakat. Dan juga harapan kita semua jangan keputusan tersebut
dicampur-adukkan dengan kepentingan politik dalam menghadapi Pemilu 2014.
Mengapa BBM naik ?
Menteri Keuangan Chatib Basri memaparkan akibat yang terjadi apabila harga BBM tidak dinaikkan yaitu jika harga BBM tidak dinaikkan, maka defisit anggaran menjadi 3,83 dan ini akan membuat stabilitas makro terganggu sehingga arus modal keluar. Apabila kondisi ini terjadi maka dampaknya adalah stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terganggu. Hal ini tentu berbahaya, rupiah bisa jatuh dan berpengaruh pada penciptaan lapangan kerja.
Bila memang langkah ini dianggap paling tepat
untuk menyelamatkan Negara maka pemerintah harus siap dengan kosenkuensi yang
akan terjadi. Hal yang paling konkret yang harus dilakukan pemerintah adalah
dengan memberikan BLSM tepat sasaran. Jangan memanfaatkan momen ini untuk
kepentingan politik. Sebab, jika ada kepentingan politik pasti pemerintah lebih
memilih opsi tidak akan menaikkan harga BBM. Logikanya adalah menaikkan harga
BBM akan berdampak langsung terhadap masyarakat golongan menengah ke bawah.
Menurut Ekonom Anggito Abimayu dalam bukunya
Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal menyebutkan, bahwa harga minyak dunia di
atas 110 dolar per barel akhir-akhir ini tentu sudah menganggu APBN. Meskipun
pendapatan Negara dari pajak dan PNBP atas migas bertambah, subsidi energi bagi
hasil minyak dan kosekuensinya pada anggaran pendidikan bertambah lebih banyak.
Akibatnya setiap kenaikan rata-rata pertahun
harga minyak 1 dolar AS, APBN rugi sekitar Rp 700 miliar. Jadi jika harga
minyak dunia mengalami kenaikan sepanjang tahun 10 dolar di atas rata-rata
asumsi APBN, yakni 80 dolar per barel akan terjadi kerugian Rp 7 triliun. Ini
belum termasuk apabila konsumsi BBM bersubsidi melebihi kuota serta dibatalkan
kebijakan pembebasan capping listrik PLN serta penurunan produksi minyak kita. Bila
pemerintah tidak menaikkan harga BBM maka dikhawatirkan menjadi “bom waktu”
yang suatu saat akan meledak.
Untuk menghidari dampak tersebut maka pemerintah
mau-tidak mau harus menaikan harga minyak untuk mengurangi defisit APBN guna
menyelamatkan perekonomian nasional. Dilema memang menaikkan harga BBM di saat
kondisi rakyat masih banyak yang berada di garis kemiskinan. Kendati demikian
langkah tersebut tentunya harus dilakukan mengingat efek yang ditimbulkan di
kemudian hari sangat besar.
Inilah saatnya kita berpikir cerdas dalam
mencermati kebijakan pemerintah tersebut. Yaitu dengan melihat secara
komprehensif baik dari sisi positif ataupun dari sisi negatifnya. Kebijakan
pemerintah menaikkan harga BBM ibarat mengonsumsi obat, walaupun pahit tetapi harus
tetap diminum demi kesembuhan. Harapan kita semua mudah-mudahan obat tersebut
tidak ada efek sampingnya yang bisa menimbulkan penyakit lain.
Bila melihat pendapat dari berbagai sumber di
atas terkait keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi memang
masuk akal, mengingat ketidakpastian harga minyak mentah dunia. Namun menurut
hemat penulis, alangkah arif dan bijaksana bila kenaikan tersebut diberlakukan
setelah Idul Fitri, mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
Bahkan, seperti kita maklumi bersama, sebentar lagi kita akan memasuki bulan
suci Ramadhan, yang tentu pengeluarannya akan lebih besar dibandingkan
hari-hari biasa.
Artikel dikutip
dari :
Muharril
Al Aqshar,
Alumnus
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta,
Email :
aril.aceh@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar