Senin, 24 Juni 2013

Galau BBM Naik


HARGA bahan bakar minyak (BBM) mengalami kenaikan seiring dengan disahkannya APBN-P 2013 DPR RI pada Senin (17/6) pekan lalu. Harga premium yang sebelumnya Rp 4.500 naik menjadi Rp 6.500 per liter, demikian pula solar yang sebelunya Rp 4.500 kini menjadi Rp 5.500 per liter. Meski demikian, masyarakat tidak perlu galau, karena pemerintah telah menyiapkan solusi atas permasalahan tersebut, dengan memberikan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM), guna meringankan beban masyarakat.

Menurut Menko Perekonomian Hatta Rajasa, pemberian BLSM tersebut akurat dan tidak akan salah sasaran. Total alokasi anggaran untuk BLSM ini mencapai Rp 14 triliun, dengan jumlah bantuan yang akan diterima Rp 150 ribu per bulan untuk 15,5 juta kepala keluarga atau kelompok sasaran selama 5 bulan (detik.com)
Mudah-mudahan rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi sampai bantuan dan memberikan bantuan lansung sementara kepada masyarakat merupakan sebuah keputusan yang tulus yakni murni untuk kepentingan masyarakat. Dan juga harapan kita semua jangan keputusan tersebut dicampur-adukkan dengan kepentingan politik dalam menghadapi Pemilu 2014.

Mengapa BBM naik ?

Menteri Keuangan Chatib Basri memaparkan akibat yang terjadi apabila harga BBM tidak dinaikkan yaitu jika harga BBM tidak dinaikkan, maka defisit anggaran menjadi 3,83 dan ini akan membuat stabilitas makro terganggu sehingga arus modal keluar. Apabila kondisi ini terjadi maka dampaknya adalah stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terganggu. Hal ini tentu berbahaya, rupiah bisa jatuh dan berpengaruh pada penciptaan lapangan kerja.
Bila memang langkah ini dianggap paling tepat untuk menyelamatkan Negara maka pemerintah harus siap dengan kosenkuensi yang akan terjadi. Hal yang paling konkret yang harus dilakukan pemerintah adalah dengan memberikan BLSM tepat sasaran. Jangan memanfaatkan momen ini untuk kepentingan politik. Sebab, jika ada kepentingan politik pasti pemerintah lebih memilih opsi tidak akan menaikkan harga BBM. Logikanya adalah menaikkan harga BBM akan berdampak langsung terhadap masyarakat golongan menengah ke bawah.
Menurut Ekonom Anggito Abimayu dalam bukunya Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal menyebutkan, bahwa harga minyak dunia di atas 110 dolar per barel akhir-akhir ini tentu sudah menganggu APBN. Meskipun pendapatan Negara dari pajak dan PNBP atas migas bertambah, subsidi energi bagi hasil minyak dan kosekuensinya pada anggaran pendidikan bertambah lebih banyak.
Akibatnya setiap kenaikan rata-rata pertahun harga minyak 1 dolar AS, APBN rugi sekitar Rp 700 miliar. Jadi jika harga minyak dunia mengalami kenaikan sepanjang tahun 10 dolar di atas rata-rata asumsi APBN, yakni 80 dolar per barel akan terjadi kerugian Rp 7 triliun. Ini belum termasuk apabila konsumsi BBM bersubsidi melebihi kuota serta dibatalkan kebijakan pembebasan capping listrik PLN serta penurunan produksi minyak kita. Bila pemerintah tidak menaikkan harga BBM maka dikhawatirkan menjadi “bom waktu” yang suatu saat akan meledak.
Untuk menghidari dampak tersebut maka pemerintah mau-tidak mau harus menaikan harga minyak untuk mengurangi defisit APBN guna menyelamatkan perekonomian nasional. Dilema memang menaikkan harga BBM di saat kondisi rakyat masih banyak yang berada di garis kemiskinan. Kendati demikian langkah tersebut tentunya harus dilakukan mengingat efek yang ditimbulkan di kemudian hari sangat besar.
Inilah saatnya kita berpikir cerdas dalam mencermati kebijakan pemerintah tersebut. Yaitu dengan melihat secara komprehensif baik dari sisi positif ataupun dari sisi negatifnya. Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM ibarat mengonsumsi obat, walaupun pahit tetapi harus tetap diminum demi kesembuhan. Harapan kita semua mudah-mudahan obat tersebut tidak ada efek sampingnya yang bisa menimbulkan penyakit lain.

Bila melihat pendapat dari berbagai sumber di atas terkait keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi memang masuk akal, mengingat ketidakpastian harga minyak mentah dunia. Namun menurut hemat penulis, alangkah arif dan bijaksana bila kenaikan tersebut diberlakukan setelah Idul Fitri, mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Bahkan, seperti kita maklumi bersama, sebentar lagi kita akan memasuki bulan suci Ramadhan, yang tentu pengeluarannya akan lebih besar dibandingkan hari-hari biasa.



Artikel dikutip dari :

Muharril Al Aqshar,
Alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta,
Email : aril.aceh@yahoo.co.id


Tidak ada komentar:

Posting Komentar